Diawali
dengan insiden kurang sopan yang saya lakukan pada saat bercanda. Sambil
tertawa terbahak-bahak saya secara refleks memegang kepala seorang teman sebut
saja teman H. Tidak bermaksud untuk menghajar atau melakukan hal yang salah
dengan kepala itu, tapi sekedar hanya bentuk respon atas tawa yang berlebihan
dan ungkapan hubungan pertemanan yang dekat.
Teman
F yang melihat hal itu langsung menegur saya di depan teman-teman yang lain
yang saat itu sedang ramai berkumpul. Dia menegur dengan logat Sumateranya yang
khas dan ditambah dengan sedikit bumbu nyolot dan culas (karena memang teman
saya itu pembawaannya sedikit culas):
“Gak
sopan kali pun megang-megang kepala orang. Emang kau mau kepalamu dipegang trus
ditempeleng sama orang?”
Saya
yang mendapat teguran, seketika tersinggung, karena cara dia menyampaikan
benar-benar menghakimi saya sebagai orang paling bersalah di dunia saat itu.
Merasa sebagai terpidana karena sudah menempeleng kepala orang (padahal saya
sedang tidak menempeleng kepala orang lain loh). Dalam hitungan detik, hati
saya membuat pembelaannya sendiri.
Loh,
aku gak nempeleng kepala si H kok.
Lagian teman yang saya pegang kepalanya diam saja, tidak tersinggung. Kayak dia
gak pernah melakukan hal itu saja?
Saya
ingin mengeluarkan kata-kata pembelaan itu dengan cara yang lebih nyolot
daripada teguran yang diberikan kepada saya. Tapi langsung saya terdiam,
menahan dalam hati dan keluarlah kata-kata yang sedikit lebih lembut:
Gak
kok, aku cuma becanda.
Kemudian
ditimpali lagi oleh teman saya F dengan logat yang lebih culas dari sebelumnya
:
Kan
gak mesti kepalanya juga.
Saya
berfikir, sudahlah tidak usah diteruskan. Mungkin maksud teman memang baik.
Saya diingatkan untuk tidak salah dalam bercanda dan tidak macam-macam dengan
kepala orang. Saya kemudian diam, sambil dongkol dalam hati. Masih tersinggung
dengan cara tegurannya yang culas dan nyolot.
Sebulan
kemudian, saya dan teman saya tadi bersama teman yang lain sedang jalan-jalan
untuk rekreasi dari Dipati Ukur Bandung menuju Sari Ater. Kita naik mobil teman
yang berasal dari Yogyakarta dan teman saya yang menyetir sendiri mobil tersebut. Teman yang tadi menegur saya duduk tepat di
belakang bangku supir. Sambil jalan, kita bercanda-canda di dalam mobil sambil
saling mengejek, teman saya yang sedang nyetir juga ikut-ikutan. Hingga
akhirnya candaan kita menyinggung perasaan si teman yang menegur saya. Teman
saya itu tersinggung, langsung mendeplak dari belakang kepala teman saya yang
sedang menyetir mobil tadi sambil mengeluarkan kata-kata yang culas dan nyolot
juga.
Teman
saya yang seding nyetir langsung marah : “Iya, gw kan cuma becanda sama lu.
Jangan main teplak kepala dong. Gak sopan banget sih lu!!!”
Mungkin
karena dia dari Yogyakarta yang masih kental dengan tata karma hingga jadi
sangat tersinggung dengan perlakuan teman saya tadi. Seketika mobil menjadi
diam. Karena memang nada teman saya itu marah luar biasa karena dia tersinggung
sekali kepalanya diteplak.
Saya
yang melihat hal itu langsung berkata dalam hati, “perasaan dulu dia yang negur
saya untuk tidak bercanda dengan kepala orang. Eh ternyata dia juga seperti
itu, malah lebih parah dari yang pernah saya lakukan. Dasar…. Itu sama saja
dengan istilah: selumbar di mata orang lain keliatan, tetapi balok dalam
mati sendiri tidak keliatan. Dia terlalu gampang menegur saya, sementara
kelakukannya sendiri masih lebih salah dari yang saya lakukan. Seharusnya dia
keluarkan dulu balok yang didalam matanya baru bisa melihat dengan jelas selumbar
yang di dalam mata saya.
Begitulah
yang terjadi. Teman saya menghakimi saya, eh ternyata kemudian dia dihakimi
dengan penghakiman yang sama yang dia lakukan terhadap saya.
Lantas
dalam hal ini, apakah saya yang menulis cerita dalam blog ini benar? Tidak….
Justru dengan tulisan ini sebenarnya saya juga sedang menghakimi teman saya
sendiri. Menghakimi bahwa teman saya itu telah melakukan hal yang lebih salah
dari apa yang saya lakukan.
Jadi,
apa maksudnya saya menulis hal ini? Hahahaha.... Saya ingin menyampaikan agar
kita jangan terlalu gampang menghakimi orang lain. Kalau teman ada yang salah,
tegur dia dibawah 4 mata saja, jangan di depan umum, karena sama saja dengan
menghakimi.
Perbaiki
diri kita hari demi hari. Memperbaiki diri sama saja dengan “mengeluarkan balok
dari dalam mata kita”. Sehingga kita bisa lebih jelas melihat selumbar di mata
teman kita.
Mulai
hari ini, yuk… kita sama-sama STOP MENGHAKIMI ORANG LAIN. Perbaiki dan nilai diri kita
sendiri baru orang lain.
Mari saling mengingatkan (ingatkan saya juga bila mulut saya terlalu suka menghakimi orang lain)
Mari saling mengingatkan (ingatkan saya juga bila mulut saya terlalu suka menghakimi orang lain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar