Halaman

Minggu, 03 Juni 2012

Hal Menghakimi


Diawali dengan insiden kurang sopan yang saya lakukan pada saat bercanda. Sambil tertawa terbahak-bahak saya secara refleks memegang kepala seorang teman sebut saja teman H. Tidak bermaksud untuk menghajar atau melakukan hal yang salah dengan kepala itu, tapi sekedar hanya bentuk respon atas tawa yang berlebihan dan ungkapan hubungan pertemanan yang dekat.

Teman F yang melihat hal itu langsung menegur saya di depan teman-teman yang lain yang saat itu sedang ramai berkumpul. Dia menegur dengan logat Sumateranya yang khas dan ditambah dengan sedikit bumbu nyolot dan culas (karena memang teman saya itu pembawaannya sedikit culas):

“Gak sopan kali pun megang-megang kepala orang. Emang kau mau kepalamu dipegang trus ditempeleng sama orang?”

Saya yang mendapat teguran, seketika tersinggung, karena cara dia menyampaikan benar-benar menghakimi saya sebagai orang paling bersalah di dunia saat itu. Merasa sebagai terpidana karena sudah menempeleng kepala orang (padahal saya sedang tidak menempeleng kepala orang lain loh). Dalam hitungan detik, hati saya membuat pembelaannya sendiri.

Loh, aku gak nempeleng kepala si  H kok. Lagian teman yang saya pegang kepalanya diam saja, tidak tersinggung. Kayak dia gak pernah melakukan hal itu saja?

Saya ingin mengeluarkan kata-kata pembelaan itu dengan cara yang lebih nyolot daripada teguran yang diberikan kepada saya. Tapi langsung saya terdiam, menahan dalam hati dan keluarlah kata-kata yang sedikit lebih lembut:
Gak kok, aku cuma becanda.

Kemudian ditimpali lagi oleh teman saya F dengan logat yang lebih culas dari sebelumnya :
Kan gak mesti kepalanya juga.

Saya berfikir, sudahlah tidak usah diteruskan. Mungkin maksud teman memang baik. Saya diingatkan untuk tidak salah dalam bercanda dan tidak macam-macam dengan kepala orang. Saya kemudian diam, sambil dongkol dalam hati. Masih tersinggung dengan cara tegurannya yang culas dan nyolot.

Sebulan kemudian, saya dan teman saya tadi bersama teman yang lain sedang jalan-jalan untuk rekreasi dari Dipati Ukur Bandung menuju Sari Ater. Kita naik mobil teman yang berasal dari Yogyakarta dan teman saya yang menyetir sendiri mobil tersebut.  Teman yang tadi menegur saya duduk tepat di belakang bangku supir. Sambil jalan, kita bercanda-canda di dalam mobil sambil saling mengejek, teman saya yang sedang nyetir juga ikut-ikutan. Hingga akhirnya candaan kita menyinggung perasaan si teman yang menegur saya. Teman saya itu tersinggung, langsung mendeplak dari belakang kepala teman saya yang sedang menyetir mobil tadi sambil mengeluarkan kata-kata yang culas dan nyolot juga.

Teman saya yang seding nyetir langsung marah : “Iya, gw kan cuma becanda sama lu. Jangan main teplak kepala dong. Gak sopan banget sih lu!!!”

Mungkin karena dia dari Yogyakarta yang masih kental dengan tata karma hingga jadi sangat tersinggung dengan perlakuan teman saya tadi. Seketika mobil menjadi diam. Karena memang nada teman saya itu marah luar biasa karena dia tersinggung sekali kepalanya diteplak.

Saya yang melihat hal itu langsung berkata dalam hati, “perasaan dulu dia yang negur saya untuk tidak bercanda dengan kepala orang. Eh ternyata dia juga seperti itu, malah lebih parah dari yang pernah saya lakukan. Dasar…. Itu sama saja dengan istilah: selumbar di mata orang lain keliatan, tetapi balok dalam mati sendiri tidak keliatan. Dia terlalu gampang menegur saya, sementara kelakukannya sendiri masih lebih salah dari yang saya lakukan. Seharusnya dia keluarkan dulu balok yang didalam matanya baru bisa melihat dengan jelas selumbar yang di dalam mata saya.
Begitulah yang terjadi. Teman saya menghakimi saya, eh ternyata kemudian dia dihakimi dengan penghakiman yang sama yang dia lakukan terhadap saya.
Lantas dalam hal ini, apakah saya yang menulis cerita dalam blog ini benar? Tidak…. Justru dengan tulisan ini sebenarnya saya juga sedang menghakimi teman saya sendiri. Menghakimi bahwa teman saya itu telah melakukan hal yang lebih salah dari apa yang saya lakukan.

Jadi, apa maksudnya saya menulis hal ini? Hahahaha.... Saya ingin menyampaikan agar kita jangan terlalu gampang menghakimi orang lain. Kalau teman ada yang salah, tegur dia dibawah 4 mata saja, jangan di depan umum, karena sama saja dengan menghakimi.
Perbaiki diri kita hari demi hari. Memperbaiki diri sama saja dengan “mengeluarkan balok dari dalam mata kita”. Sehingga kita bisa lebih jelas melihat selumbar di mata teman kita.

Mulai hari ini, yuk… kita sama-sama STOP MENGHAKIMI ORANG LAIN. Perbaiki dan nilai diri kita sendiri baru orang lain.
Mari saling mengingatkan (ingatkan saya juga bila mulut saya terlalu suka menghakimi orang lain)

Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar