Halaman

Selasa, 29 Mei 2012

D O S A


Bagaimana rasanya saat kita menggaruk bagian tubuh yang gatal? Pasti rasanya sangat tenang dan menyenangkan, seakan-akan rasa gatal yang sedari tadi bergerak-gerak dan menari di atas kulit kita dihusir jauh-jauh. 

Tapi coba kalau kita hentikan kegiatan menggaruk tersebut sebentar saja. Ada timbul rasa jengkel dan resah karena rasa gatal terus mengganggu. Akhirnya kita lanjut untuk menggaruk bagian tubuh yang gatal itu lagi..lagi..lagi… hingga terasa lega. Tanpa kita sadari kuku kita telah melukai bagian tubuh yang gatal tadi. Kita tidak sadar karena sedikit demi sedikit kelukaan itu sudah kebal bagi tubuh.  Tidak akan terasa sakit lukanya sampai akhirnya tersentuh air. Saat tersentuh air, air akan mengenai luka itu sehingga bagian yang kita garuk tadi mulai perih dan menusuk.

Itulah yang terjadi dengan manusia yang hidup dalam dosa. Dosa itu menari-nari dalam pikiran dan hati kita. Menggoda untuk diikuti. Sesekali masih bisa dielakkan, kita masih tenang dan tidak diusik oleh nafsu dosa. Sampai akhirnya kita tertarik untuk mencobanya.

 “Sepertinya akan lebih enak jika aku ikuti kedosaan itu. Toh cuma sekali saja, tidak mungkin diulang kedua kali.” Itu kata-kata kompromi yang selalu keluar dari diri kita saat pertama kali berbuat dosa.

Berbekal sedikit perasaan bersalah, kita lakukan dosa. Setelah dilakukan, perasaan bersalah makin besar, takut ketahuan, dan takut-takut yang lainnya. Tapi mulai diimbangi dengan kompromi yang timbul lagi dalam hati. “Ah.. gak apa-apa kok, kamu cuma melakukannya sekali, gak akan ada yang tahu. Besok janji tidak akan diulangi lagi.”

Ternyata setelah dilewati, memang benar tidak terjadi apa-apa, malah lebih lega. Masalah bisa sedikit terselesaikan. Ya kalau begitu, besok melakukan dosa lagi gak apa-apa. Lebih nikmat malah. Sedikit-sedikit mengambil uang perusahaan tidak ada yang tahu, toh untuk keperluan orang susah seperti saya juga, begitulah contoh kompromi dosa yang mungkin timbul. Atau mungkin: selingkuh sekali saja kan ga masalah, selama tidak menghamili perempuan saja.

Setahun, dua tahu, tiga tahun, tidak ada yang tahu. Sama seperti menggaruk tadi, sekali, dua kali, tiga kali digaruk tidak terasa sakitnya. 
Hati nurani sudah mengingatkan, tapi sering diabaikan karena sudah terbiasa dengan nikmatnya dosa. Tidak ada takut lagi kepada Tuhan. Sampai akhirnya, dosa itu terungkap dan diketahui orang lain barulah kita merasakan perih dan sakit. Menyesal mengapa melakukannya dulu, mengapa terlalu berlebihan melakukannya, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Menyesal dan bertobat setelah keadaan menjadi lebih buruk. Bagus kalau bertobat, bagaimana bila tidak bertobat atau tidak ada waktu untuk bertobat? Hanya Tuhan yang bisa memberikan konsekuensinya.


Manusia tidak akan luput dari dosa. Tapi mulai bijaksanalah. Bila dosa itu sudah dilakukan dan hati nurani sudah mengingatkan, segera berhenti. Ambil jalan yang benar lagi. Karena dosa itu memang enak rasanya, melegakan, sesaat bisa menyelesaikan permasalahan, tapi efeknya akan menyakitkan di kemudian hari.
Sebelum terasa sakit, stop melakukan dosa yang berulang dari sekarang.

BERTOBATLAH SELAGI MASIH ADA WAKTU..... KARENA DOSA ITU NIKMAT UNTUK DILAKUKAN TUBUH, TAPI TIDAK BAIK UNTUK ROH.

Membayar Nazar 2 (part 2)

Babak baru pun saya mulai.

Saya tidak akan bercerita banyak tentang babak baru kehidupan awal sebagai siswa Perusahaan Migas.
Akan saya ceritakan di judul yang lain. Ini lebih bercerita tentang memenuhi janji setelah mimpi-mimpi terpenuhi.

Diawali dengan daftar ulang di Learning Center, masuk ke asrama dan mendapat teman sekamar baru (Helen dan Marsha).
Berkenalan dan tinggal satu kamar selama 4 bulan cukup membuat kita dekat dan saling terbuka.
Dan kita pun saling bercerita tentang pengalaman sampai bisa sampai ke Perusahaan Migas ini.

Untuk sebulan pertama tinggal di asrama rasanya penuh tekanan. Banyak alasan yang bisa membuat saya tertekan, mungkin karna saya kurang enjoy dengan kegiatan di sana, harus mengenal orang-orang baru, selain itu ditopang dengan gaji yang kurang dari sejuta tipa bulan rasanya sangat tidak enak. selain itu kita tidak bebas untuk keluar masuk asrama. Rasanya seperti burung dalam sangkar. Makanan dan kebutuhan hidup tersedia, tapi kebebesan sangat dibatasi. 
Tapi itu hanya berlangsung sebulan, setelah itu saya sudah bisa menikmati kehidupan asrama. Ditambah dengan teman-teman se-divisi saya semuanya sangat-sangat menyenangkan.


Setelah 4 bulan tinggal di asrama Learning Center, akhirnya saya dan teman-teman yang lain dilepaskan untuk siap berkarya di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Saya mendapatkan 3 lokasi untuk berkarya. Diawali dengan daerah Sumatera Bagian Selatan (Plaju, Palembang dan Prabumulih), Balikpapan dan terakhir kembali ke Jakarta.


Senang rasanya bisa berkarya dan bekerja kembali. Tapi ada yang mengganjal pikiran saya, yaitu nazar saya belum saya penuhi atau saya bayar. Tapi saya belum siap untuk botak, karena belum menyiapkan wig untuk menutupi rambut saya kalau botak. Apa kata atasan dan teman kantor saya seandainya mereka melihat ada wanita botak.Bisa-bisa penilaian magang saya mendapat nilai yang jelek dan saya dicap sebagai orang aneh.
Jadi saya putuskan untuk menunda sebulan lagi sambil saya berdoa minta ditunjukkan tempat menjual wig yang bagus dan cukup di kocek saya.


Sebulan berlalu. Tiap malam saya dihantui oleh nazar yang belum dibayar lunas sampai kebawa dalam mimpi. Semoga saya masih dikasih waktu.
Tanpa sengaja, saya dan kedua teman saya sedang berjalan-jalan ke salah satu mall di Palembang, dan di situ saya melihat sebuah toko yang khusus menjual wig. Bukan suatu kebetulan pikir saya.
Singkat cerita saya beli wig tersebut.
Setelah membeli wig, saya tidak langsung membotaki rambut saya. Butuh keberanian untuk melakukannya. 


Saya hanya merasa bodoh, sepertinya nazar itu tidak perlu dilakukan. Tuhan pasti maklum kok dengan keadaan saya, pikir saya dalam hati. Tapi kemudian saya diingatkan tentang kesetiaan.
Bagaimana seandainya Tuhan bukanlah Tuhan yang setia dengan perkataanNya? Dia setia, karena itu dia mau anak-anaknya juga setia.
Bagaimana seandainya Tuhan tidak meminta membayar nazar tapi lebih menuntut kepada kesetiaanmu akan perkataan yang sudah pernah kau ucapkan dengan sungguh-sungguh, mau kah kamu melakukannya? Atau bagaimana ini sebagai ujian mu, dimana Tuhan mau melihat kesetiaanmu. Meskipun dengan perkataan yang sepertinya bodoh.

Lama ku doakan dan bicarakan dengan Tuhan. Selain itu saya juga bertanya ke banyak orang tentang janji di hadapan Tuhan, apakah harus dipenuhi atau boleh diganti? Tapi sebagian jawaban mereka menganjurkan agar memenuhi janji saya tersebut.


Dengan mengumpulkan keberanian, akhirnya saya beranikan diri untuk membotak rambut saya. Wig sudah tersedia, alat cukur juga ada, yang kurang hanya keberanian untuk melakukannya.


Bodoh memang, tapi alasan saya ingin melakukannya hanya untuk membuktikan bahwa saya setia dengan perkataan saya. Susah dijelaskan dengan kata-kata mengapa saya bisa berani mengambil keputusan itu. Bagi perempuan, rambut adalah hal yang berharga, sehingga membotak rambut bisa dianggap sebagai keanehan yang diambil oleh perempuan. Gak tau mengapa juga keberanian itu bisa muncul. Mungkin ada keberanian yang terbentuk dari hasil perbincangan saya dengan Tuhan dalam waktu beberapa bulan J


Akhirnya hati sudah bulat. Tanggal 4 Februari 2012 saya putuskan untuk eksekusi pembotakan. Pelaku pembotaknya sendiri teman saya, kebetulan dia selalu membawa mesin penyukur rambutnya kemana-mana.
Saya lega dan bisa berkata bahwa saya menepati janji saya.
Dan saya memakai wig untuk beberapa bulan hingga rambut saya tumbuh :p


tidak kelihatan seperti wig kan?







Bukan untuk ditiru oleh banyak orang. Setiap orang boleh membuat janjinya sendiri dihadapan Tuhan.